Jumat, 25 November 2011

Wajib Belajar Dua Belas Tahun dan Prioritas Penguasaan IPTEK sebagai Inovasi Pendidikan dalam Penyokong Kemajuan Teknologi demi Terwujudnya SDM yang Cerdas, Berkualitas dan Mampu Bersaing

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
            Pendidikan dalam suatu negara merupakan hal yang paling penting dan paling perlu untuk diperhatikan dan ditingkatkan,  keadaan pendidikan yang baik akan memacu perkembangan dan kemajuan dalam suatu negara. Melalui pendidikan pulalah para masyarakat tak hanya sekedar menjadi cerdas namun mampu mengaplikasikan kecerdasannya dalam berbagai hal, perekonomian negara juga dapat terus ditingkatkan dengan banyaknya hasil didikan yang kompeten dan ahli dibidangnya dan tentu saja hal ini akan berdampak baik terhadap persaingan perekonomian dengan negara-negara yang telah lebih dulu maju dalam hal pendidikan.
Penyelenggaraan lembaga–lembaga pendidikan di negara manapun di dunia dipandang sebagai suatu program yang bernilai strategis. Hal ini berdasarkan satu asumsi bahwa proses pendidikan merupakan sebuah proses yang dengan sengaja dilaksanakan semata–semata bertujuan untuk mencerdaskan bangsa. Melalui proses pendidikan akan terbentuk sosok–sosok individu sebagai sumber daya manusia yang akan berperan besar dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Oleh karena itu peran pendidikan demikian sangat penting sebab pendidikan merupakan kunci utama untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Hubungan antar proses pendidikan dengan terciptanya sumber daya manusia merupakan suatu hubungan logis yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini sesuai dengan pengertian pendidikan itu sendiri.[1]
            Kata “pendidikan”  dalam bahasa Yunani berarti paedagogie yang berasal dari kata “paid” yang berarti anak dan “agogos” yang berarti membimbing. Dengan kata lain, paedagogie dapat diartikan sebagai seni mengajar anak atau dapat diartikan sebagai bimbingan  yang diberikan pada anak; sedangkan orang yang membimbing disebut paedagoog. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan atau paedagogie diberi makna bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada orang lain yang belum dewasa agar menjadi dewasa.[2]
Menurut kamus Bahasa Indonesia, kata “pendidikan” berasal dari kata "didik". Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran, sehingga lebih terarah dan terencana. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan, dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajarkan kebudayaan melalui  generasi.[3]
            Dilihat dari segi manapun manusia memerlukan pendidikan yang terorganisir dengan baik tidak sekedar formalitas namun telah menjadi kebutuhan. Menyikapi program pendidikan pemerintah yang hanya mewajibkan masyarakatnya untuk mengikuti pendidikan formal sembilan tahun tentu tidak lagi relevan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan untuk menjadi bagian dari institusi pemerintahpun tak akan bisa jika hanya mengantongi ijazah SMP atau sederajatnya.
1.2 Perumusan Masalah
            Pesatnya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan semakin meningkatnya persaingan masyarakat terutama dalam hal perolehan kerja yang layak yang diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menanggapi hal tersebut adanya program pendidikan yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan program wajib belajar 9 tahun dirasa sudah tidak mendukung lagi, apalagi jika kita melihat kualifikasi yang diinginkan oleh para pencari tenaga kerja, akan sangat jarang kita temui adanya tamatan SMP yang diikutseratakan. Untuk itu perlu adanya perhatian pemerintah terhadap peraturan lama yang sudah seharusnya tidak diperbaharui karena sudah tidak sesuai dengan keadaan di masa sekarang.
1.3 Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini ialah untuk memberikan gagasan dan pemikiran baru guna memberikan kontribusi yang aplikatif yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan dari pendidikan itu sendiri yakni mencerdaskan bangsa dan menjadikannya kompeten didukung dengan penguasaan IPTEK demi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas.
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Program Wajib Belajar Sembilan Tahun dan Peningkatan SDM
            Program pendidikan wajib belajar sembilan tahun pada hakekatnya adalah untuk memenuhi hak asasi setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan prinsip pendidikan untuk semua (education for all). Tujuannya adalah agar setiap warga negara memperoleh pengetahuan dan kemampuan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[4]
            Dalam konteks pembangunan nasional wajib belajar 9 tahun adalah suatu usaha yang harus dilakukan, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar memiliki kemampuan untuk memelihara dunianya, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, mampu meningkatkan kualitas hidup dan martabatnya, dan wajib belajar diartikan sebagai pemberian kesempatan belajar seluas-luasnya kepada kelompok usia sekolah untuk mengikuti pendidikan dasar tersebut.[4]
            Sejarah menunjukkan bahwa faktor terpenting yang menentukan keberhasilan suatu bangsa bukanlah melimpahnya sumber daya alam (SDA) melainkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dengan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sebuah bangsa akan sanggup belajar dari kenyataan yang serba dinamis, sanggup mencari jalan alternatif pemecahan masalah, serta sanggup mengembangkan pola-pola pemikiran yang pada akhirnya akan dapat melahirkan strategis persaingan unggul di era global.


Dalam era kedua kebangkitan nasional, SDM yang berkualitas adalah yang memiliki kemampuan dan menguasai keahlian dalam suatu bidang yang berkaitan dengan IPTEK, Mampu bekerja secara profesional dengan orgientasi mutu dan keunggulan, dapat menghasilkan karya-karya unggul dan mampu bersaing cara global sebagai hasil dari keahlian dan profesionalismenya. avidiman Suryohadiprodjo. 1987, Faisal, 246-252).
Nah untuk menciptakan masyarakat yang berkualitas tentu tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan pendidikan setingkat SMP, program pemerintah yang hanya mewajibkan pendidikan selama sembilan tahun terkesan tidak serius dalam hal pengembangan wawasan. Meskipun pada kenyataannya masyarakat telah memiliki kesadaran sendiri terhadap pentingnya pendidikan, namun ada juga sebagian yang tidak melanjutkan sekolahnya karena beberapa kemungkinan seperti kesadaran yang rendah rendah, pergaulan yang cenderung bebas dan tak menghiraukan pendidikan ataupun kemampuan financial yang tidak mencukupi.
Kemungkinan yang terakhir merupakan alasan yang paling sering kita dengar. Banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya dikarenakan mahalnya biaya pendidikan. Untuk sekolah Negeri saja orang tua tetap harus mengeluarkan dana bulanan untuk membayar uang sekolah padahal gaji guru dan biaya operasional telah ditanggung oleh pemerintah, hal ini dilakukan karena dana yang diberikan oleh pemerintahan lebih kecil daripada pasak, sebagai contoh pembelian kapur tulis atau spidol dalam mendukung keperluan pendidikan setiap hari, belum lagi perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan apabila ada fasilitas-fasilitas sekolah yang rusak. Jika yang berstatus negeri saja harus bayar apalagi sekolah yang berstatus swasta. Belum lagi uang yang harus disediakan orang tua untuk memenuhi kebutuhan buku-buku dan keperluan lainnya. Tentu akan terasa sangat berat.
Untuk itu perlu adanya keseriusan oleh para pemerintah dalam menata anggaran untuk keperluan pendidikan yang tentu akan sangat berpengaruh terhadap masa depan bangsa itu sendiri. Program wajib belajar sembilan tahun meskipun tidak teraplikasi dengan baik sudah seharusnya di inovasi dan dikembangkan untuk menciptakan masyarakat yang berkullitas dan berkompeten. Tidaklah cukup hanya mencanangkan program wajib belajar sembilan tahun karena pada dasarnya persaingan terus menerus meningkat.
Tentunya yang diharapkan disini tidak hanya sekedar perubahan program, tetapi juga adanya keseriusan dan penambahan pemikiran untuk mewujudkan wajib belajar dua belas tahun dengan menerapkan manajemen-manajemen khusus dan sasaran program yang teratur demi keamanan dan kenyamanan pendidikan itu sendiri.
2.2 Inovasi Program Belajar Dua Belas Tahun
            Program belajar dua belas tahun adalah sebuah gagasan baru yang diharapkan dapat meningkatkan produktifitas masyarakat terhadap pentingnya pendidikan. Bercermin dari program wajib belajar sembilan tahun yang telah dibuat oleh pemerintah sepertinya tidak cukup mampu untuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
            Pemerintah diharapkan mampu berpikir secara serius tidak hanya membuat undang-undang dan peraturan, namun juga  konsekuensi dalam menjalankan program-programnya. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap efisiensi yang di hasilkan.
            Sebagaimana yang telah kita ketahui memang telah banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pendidikan. Seperti halnya pemberian beasiswa dan penyaluran dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang diberikan oleh pemerintah kepada sekolah-sekolah SD-SMP. Tentunya hal ini berdampak baik, namun apakah cukup jika bantuan tersebut hanya diberikan kepada sekolah jenjang SD-SMP saja?.
            Ironisnya dana BOS yang menjadi kebanggaan pemerintah dalam penyaluran dana langsung ke sekolah-sekolah pun ternyata sering kali tersendat. Menurut harian kompas (5/10/2011), meskipun kini telah menginjak periode triwulan IV, penyaluran dana bantuan operasional sekolah triwulan II ternyata masih tersendat. Ada tujuh kabupaten yang sampai Rabu (5/10) belum mencairkan dana BOS periode April-Juni 2011. Dari tujuh kabupaten yang belum mencairkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) tersebut, enam kabupaten di antaranya berada di Provinsi Papua, yakni Kabupaten Intan Jaya, Lanny Jaya, Mappi, Memberamo Tengah, Paniai, dan Pegunungan Bintang. Satu kabupaten lagi berada di Provinsi Riau, yaitu Kabupaten Rokan Hilir. Sistem penyaluran dana BOS yang tidak terorganisir dengan baiklah penyebabnya. Diperlukan sistem penyaluran yang harus terprogram dan terorganisir dengan baik untuk menyelesaikan program tersebut.
2.3 Siswa SMA Putus Sekolah
            Biaya sekolah yang relatif mahal ditengarai menjadi penyebab utama tidak berdayanya para siswa miskin melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya. Kesulitan ini semakin berat dengan adanya keharusan membayar uang pangkal, membeli buku tulis, seragam sekolah, dan buku pelajaran. Hal-hal tersebut merupakan beberapa indikator pemicu biaya sekolah menjadi mahal.[5]
"Siswa di SMP, hanya 23 persen yang mampu meneruskan ke tingkat SMA. Sisanya tidak bisa meneruskan, di antaranya ada yang terpaksa bekerja," ujar Nono ketika menjadi narasumber dalam lokakarya "Membedah Pembiayaan Pendidikan".[5]
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Mustasfirin menyesalkan sulitnya menekan angka siswa putus sekolah. Semakin ironis karena secara umum tingginya angka putus sekolah di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah berpengaruh pada jumlah siswa yang akan melanjutkan ke bangku perkuliahan. Ia menegaskan, pendidikan menengah menjadi sangat penting untuk menunjukkan tiga hal. Pertama, sebagai penunjang kebangkitan kelas menengah. Kedua, sebagai pondasi pendidikan. Ketiga, sebagai wujud realisasi pembangunan pendidikan itu sendiri.[5]
Melihat kasus tersebut tentu sudah saatnya pemerintah perlu menaikkan anggaran terhadap pendidikan. Tak ayal lagi bahwa siswa yang putus sekolah tentu akan menyebabkan kualitas sumber daya manusianya menjadi berkurang dan mengakibatkan visi pendidikan untuk mencerdaskan bangsa tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
2.4 Pemerataan Keterampilan dan Teknologi
            IPTEK merupakan satu hal yang tidak terlepas dari kemajuan zaman, Untuk menciptakan masyarakat yang mampu bersaing tentu tidak hanya dengan mengandalkan kemampuan berteori. Justru untuk saat ini keterampilan dan penguasaan IPTEK lah yang perlu untuk dikembangkan.
2.4.1    Konsep Iptek dalam Globalisasi
GBHN 1993 mengamanatkan secara eksplisit pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IPTEK Untuk "mempersiapkan mayarakat menuju industrialisasi", maka diprioritaskan usaha- usaha yang meningkatkan nilai tambah dan berdasarkan pengembangan sumber daya manusia, bukan sumber daya alam. Untuk itu, beberapa cabang ilmu pengetahuan mendapat perhatian khusus, yaitu a.l., bioteknologi, kimia dan proses, elektronika dan informatika. Selain itu, "ilmu-ilmu dasar dikembangkan untuk mendukung ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan humaniora".[6]
Rumusan tersebut konsisten dengan konsep pembangunan yang selama ini dianut oleh banyak negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Dasarnya adalah teori pembangunan yang dikembangkan awal tahun lima puluhan, pada waktu negara-negara yang baru merdeka ingin segera menyusul ketinggalannya. Aspirasi seluruh negara-negara baru ini kurang lebih seragam, yaitu ingin segera mandiri, kaya, makmur dan modern.Persoalannya, pada saat itu belum ada contoh pengalaman yang bisa langsung ditiru. Referensi yang tersedia hanyalah pengalaman negara-negara yang telah maju, yaitu negara-negara (Barat) modern yang sudah industrialized, dan kebanyakan baru saja menjajah mereka.
Sadar bahwa kemakmuran tidak mungkin dicapai dalam sekejap,sementara masalah yang umumnya dihadapi adalah kurangnya sumber-daya disemua sektor, baik sistem prasarana fisik, teknologi, kapital maupun (terutama) sumber-daya manusianya (karena baru saja dijajah), maka kebanyakan strategi pembangunan yang disusun sangatlah diwarnai oleh persoalan bagaimana mengalokasi sumber-daya yang langka untuk kemanfaatan yang seluas-luasnya. Konsep yang banyak dianut sejak saat itu sangatlah dipengaruhi oleh teori Rostow (1950) yang menyatakan bahwa negara-negara Karena iini akan mengalami tahap- tahap transformasi secara kurang lebih seragam. Dari sistem agraris-tradisional, suatu negara harus melalui tahap-tahap tertentu untuk kemudian menjadi negara industri-modern. Selama masa transisi tersebut, tahap-tahap terpenting yang harus dilalui adalah terlebih dahulu pemenuhan kebutuhan pokok (swa- sembada), kemudian perlunya sektor pertanian yang kuat (untuk menyubsidi sektor industri), basis ketrapilan tenaga kerja (pendidikan, IPTEK)yang cukup, serta investasi yang dipriori taskan pada sarana industri. Baru setelah berbagai prasyarat tersebut dipenuhi, maka suatu negara dianggap mampu untuk "take-off", untuk selanjutnya mengikuti pola negara-negara industri yang mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya.[6]
Memasuki PJPT ke II, kita mencanangkan bahwa saatnya telah tiba untuk memasuki tahap 'lepas landas' itu. Setelah berbagai prasarana direhabilitasi dan ditingkatkan sejak Orde Baru, setelah swa-sembada pangan tercapai beberapa waktu yang lalu, dan setelah kita tidak lagi tergantung pada sektor migas sebagai sumber pendapatan utama, maka kini kitapun ingin segera lepas-landas, sebagaimana diamanatkan GBHN tersebut diatas. Untuk itu,penguasaan IPTEK dianggap vital sebagai upaya pengembangan sumber daya manusiawi dalam mencapai in- dustrialisasi dan kemakmuran kita. Inilah aspirasi populer kita saat ini.[6]
Dari berbagai norma yang dikembangkan untuk mengukur kemajuan suatu negara, maka yang paling sederhana adalah dengan melihat kondisi kelompok terlemahnya. Bukan lagi apa yang dicapai oleh kelompok elitnya. Tingkat IPTEKyang dikuasai, bukanlah satu- satunya indikator untuk menentukan kemajuan suatu bangsa. Indikator kemiskinan masih tetap vital, dan pertanyaan yang harus dijawab adalah, mengapa kita belum bebas dari kemis- kinan? Sementara negara termajupun belum (tidak mungkin?) sama-sekali bebas dari kemiskinan, negara-negara sedang berkembang secara keseluruhan harus menghadapi kemiskinan yang bahkan meningkat.
Indonesia ingin mengejar ketinggalannya melalui industrialisasi. Sepertinya telah menjadi konsensus bahwa untuk mencapai kemakmuran, suatu negara haruslah mengutamakan nafkah peduduknya dari sektor industri. Negara-negara kaya selalu memiliki proporsi penduduk di sektor primer (pertanian) yang relatif kecil, sedangkan proporsi sektor sekunder (industri) cenderung besar dan terus tumbuh. Selanjutnya, karena pekerjaan di sektor sekunder lebih besar menciptakan nilai tambah, maka sebanyak-banyaknya pekerja di sektor sekunder, itulah yang terbaik.
Akibatnya, negara-negara sedang berkembang lalu berusaha mendorong pertumbuhan secepat-cepatnya sektor 'modern' yang dianggap paling menghasilkan nilai tambah. Artinya, mereka yang dianggap mampu mempersiapkan basis untuk 'take-off' harus didukung sekuat tenaga dan diberi prioritas untuk tumbuh. Istilah yang sering kita dengar waktu itu adalah bagaimana memperbesar 'kue nasional'. Pertumbuhan (agregatif, secara nasional) dianggap sangat penting, karena hanya melalui pertumbuhan yang pesat, dapat diciptakan peluang baru untuk partisipasi. Berdasarkan pengalaman negara-negara industri (amerika serikat, eropa), maka hampir semua negara-negara sedang berkembang telah memberikan prioritas pada sektor 'modern'. Teorinya adalah, dengan mengkonsentrasikan upaya pada sektor modern, maka secara berangsur-angsur sektor tradisional atau terbelakang, akan hilang dengan sendirinya.[6]
2.5 Peningkatan Mutu Pendidikan
            Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usahapembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.[7]
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.[7]
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanyabenchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.[7]
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
2.5 Perwujudan Masyarakat yang Cerdas dan Penguasan IPTEK
                Dalam upaya pencapaian tujuan Negara, sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, maka penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan ilmu pengetahuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah bagian sangat penting dan tak terpisahkan, hal ini tegas didalam UUD 1945 Amandemen Pasal 31 Ayat 5, yang menyebutkan bahwa “Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.[8]
Untuk menumbuhkan penguasaan, pemanfaatan dan kemajuan Iptek diperlukan sistem nasional Iptek yang merupakan keterkaitan dan saling memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumberdaya, serta jaringan Iptek dalam suatu kerangka yang utuh. Untuk itu, telah disusun suatu Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (selanjutnya disebut Sisnas Iptek) yang disahkan pada tanggal 29 Juli 2002. Salah satu amanat UU No.18 Tahun 2002 tersebut adalah : “Pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan Pemerintah dibidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dituangkan sebagai Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” (Pasal 18, ayat 2) yang selanjutnya disebut Jakstranas Iptek.[8]
Untuk itu dalam menciptakan bangsa yang cerdas maka pemerintah sebagai Institusi langsung yang menangani masalah ini diharapkan serius dan mampu memberikan inovasi dan perubahan terhadap sistem pendidikan. Tentunya hal ini sangat penting mengingat pendidikan tidak hanya sebatas di rasa dan diingat, namun aspek ilmu yang berasal dari proses pendidikan inilah yang paling penting, terutama sekali untuk mewujudkan masyarakat yang madani yang mampu bersaing dan menguasai teknologi sehingga tidak terus tertinggal dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju beberapa langkah di depan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar